Selasa, 02 September 2008

Politik Dakwah, Politisasi Dakwah

Artikel opini yang ditulis Didin Hafidhuddin berjudul Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik (Republika, 7/8), bukan saja menggugah, tetapi juga menarik untuk dicermati. Dia memaparkan hubungan dan persinggungan antara dakwah dan politik dan mengingatkan kita semua mengenai kewajiban dakwah tersebut. Seperti yang dikemukakan di awal tulisannya, tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian yang luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Karena ruang, waktu, kedudukan, dan pekerjaan tidak dibatasi dalam hal kewajiban dakwah ini, maka dalam politik pun dakwah mendapatkan tempatnya. Dalam pandangan Didin Hafidhuddin, ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia tersebut.Kurang-lebih seperti itulah gambaran harmonis mengenai hubungan dakwah dengan politik. Dakwah dan politikPersoalannya hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbulkan persoalan dan ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah-belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.Persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis. Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar. Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya. Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasaan, dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu. Tidak jarang gesekan dengan ormas Islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas Islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid. Begitu juga ketika terjadi bencana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh parpol berjubah dakwah itu biasa diberikan dengan syarat punya kartu (atau menjadi) anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi stempel partai Islam bersangkutan.Politik dakwahBerkaca pada kasus tersebut, dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh almarhum Mohammad Natsir (1991), dakwah dan akhlaqul-karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekuasaan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah.Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C Calhoun (2002), the ways in which people gain, use, and lose power. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan negara-bangsa. Dalam proses politik itu terdapat peluang politik yang bisa diisi oleh ormas Islam dengan gerakan dakwahnya. Ormas Islam berpolitik untuk mendukung gerakan dakwah atau disebut juga sebagai politik dakwah, yang terkait dengan strategi dan kebijakan dakwah yang substantif sehingga bisa efektif dalam memengaruhi dan mewarnai keputusan politik pemerintah. Sikap dan kebijakan dakwah seperti itu sejalan dengan politik kebangsaan. Muhammadiyah, misalnya, menerapkan model dakwah berupa peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah. Antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik praktis (politik kepartaian).Kebijakan dan sikap berpolitik yang berbeda langgamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. Dengan penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, mengembalikan makna dakwah pada substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah (QS Ali Imran: 104 dan 110; An-Nahl: 125; Fushilat: 33), yakni fungsi dan tujuan dakwah tidak boleh dibelokkan dan diselewengkan dari jalan Allah bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Karena itu keterlaluan dan semena-mena kalau dakwah disubordinasi oleh parpol dan dimanipulasi bagi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan. Kedua, sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam, penulis sepakat dakwah harus dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi Muslim yang bergelut di dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi sekali lagi bukan berdakwah untuk kepentingan politik. Dalam hal ini menjadi contoh dan teladan di dunia politik sehingga nilai-nilai kejujuran, keberpihakan kepada rakyat, kesederhanaan, keluhuran, dan kemuliaan bisa mewarnai perilaku politisi dan penyelenggara pemerintahan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, fatsun politik dan good governance akan terbangun dan berimplikasi positif bagi keputusan dan kebijakan yang diambil. Ikhtisar:- Politik dakwah yang tepat dan pantas adalah bukan politisasi dakwah. - Makna dakwah sudah sangat jelas terkandung dalam Alquran.
Asep Purnama Bahtiar Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik UMY

Seabad Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir oleh M. Fuad Nasar

sebuah artikel dari www.muhammadiyah.or.id
”Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, bersiaplah menjadi pembangun puing-puing yang hancur.” Kalimat bersayap ini merupakan judul sambutan allahu-yarham Bapak Mohammad Natsir di majalah Suara Masjid edisi nomor 4, Januari 1975/Muharram 1395, yang ditulis dalam rangka turut menggembirakan Muktamar Muhammadiyah ke-39 yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat, bulan Januari 1975.
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
”Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, bersiaplah menjadi pembangun puing-puing yang hancur.” Kalimat bersayap ini merupakan judul sambutan allahu-yarham Bapak Mohammad Natsir di majalah Suara Masjid edisi nomor 4, Januari 1975/Muharram 1395, yang ditulis dalam rangka turut menggembirakan Muktamar Muhammadiyah ke-39 yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat, bulan Januari 1975.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa Pahlawannya. Perjalanan bangsa Indonesia penuh dengan perjuangan yang memberi kita pengalaman berbangsa dan bernegara. Dalam setiap liku-liku perjuangan itu para pemimpin dan pejuang Islam berperan sebagai inisiator dan history maker yang menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini.
Salah satu pemimpin-pejuang muslim Indonesia yang layak dijadikan panutan ialah allahu yarham Bapak Mohammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang. Mohammad Natsir dilahirkan di Sumatera Barat, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun.
Penyelamat NKRI
Jejak perjuangan Pak Natsir tak bisa dilepaskan dari sejarah Republik Indonesia. Kepahlawanannya tidak diragukan lagi. Natsir ikut memperjuangkan dan menegakkan Republik Indonesia serta menyelamatkan NKRI dengan mengajukan ”Mosi Integral” kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950. Pidato bersejarah Natsir di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) disampaikan tanggal 3 April 1950 tentang Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsepsi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif adalah jasa Natsir yang tak dapat dilupakan. Pada masa Kabinet Natsir, Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Natsir seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana ditulis dalam artikel dan buku-buku mengenai perjuangan Mohammad Natsir, berkali-kali Natsir menyelamatkan NKRI dari ancaman perpecahan. Natsir-lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara, yang bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Roijen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno-Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan keshalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai negarawan sejati yang berjuang tanpa pamrih, Natsir tidak pernah berdiam diri terhadap kemungkaran dan kesewenang-wenangan yang terjadi dalam episode buram sejarah nasional. Menyangkut bergabungnya Natsir dalam pergolakan PRRI di Sumatera Barat, ada baiknya disimak hasil studi dan penelitian George Mc Turnan Kahin (Guru Besar Cornell University, USA) bahwa Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap yang berusaha mencegah para pemimpin militer (dalam PRRI) itu untuk tidak membangun sebuah negara Sumatera yang terpisah dari Republik Indonesia. Karena Natsir-lah, perjuangan PRRI telah dilakukan dalam batas-batas ikatan kesatuan Indonesia, ujar Kahin yang pernah tinggal di Indonesia dan mengenal Natsir.
Di hari tuanya Natsir pernah menuturkan, ”PRRI itu gerakan perlawanan terhadap Soekarno yang sudah sangat dipengaruhi PKI. Melihatnya tentu harus dari perspektif masa itu. Ini masalah zaman saya. Biarkanlah itu berlalu menjadi sejarah bahwa kami tidak pernah mendiamkan sebuah kezaliman.”
Dalam masa Orde Lama, Natsir yang bersikap kritis melawan konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menentang koalisi politik Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) akhirnya dikarantina dan ditahan sebagai tahanan politik (1962-1966). Setelah bebas di masa Orde Baru, Natsir bersama beberapa tokoh seperjuangan di Masyumi melanjutkan bakti pada umat dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di mana beliau berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.
Dakwah, menurut Natsir, melingkupi semua bidang kegiatan. Lebih lanjut Natsir mengatakan, janganlah merasa kecil kalau masuk organisasi yang hanya organisasi dakwah saja. Sebab, apakah namanya pembinaan pribadi, pembinaan keluarga, atau pembangunan masyarakat, pembangunan negara, pembangunan antar-negara, pembangunan antar-agama, semuanya sudah termasuk dalam ruang lingkup dakwah Rasulullah saw. Oleh karena itu, melakukan dakwah artinya, menuruti jejak Rasulullah saw keseluruhannya. Hanya mana yang kuat dikerjakan, itulah yang dikerjakan, yang belum kuat mengerjakannya jangan dipaksa-paksakan, ujar Natsir.
Buku Fiqhud Da’wah adalah salah satu karya monumental Mohammad Natsir yang mengantar almarhum mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universiti Penang Malaysia, sekalipun beliau waktu itu tidak dapat hadir untuk menerima penganugerahan gelar tersebut karena beberapa hal.
Selama pemerintahan Orde Baru, Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang disegani dan sekaligus juga “dikhawatirkan” pengaruhnya oleh Pemerintah Orde Baru. Beliau tidak lengah mengamati berbagai persoalan yang langsung menyangkut nasib Islam dan umatnya baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintahan Soeharto mencekal Natsir dan sejumlah tokoh nasional yang menanda-tangani Pernyataan Keprihatinan yang terkenal sebagai Petisi 50” tanggal 5 Mei 1980. Sejak saat itu Natsir praktis tidak bisa lagi menghadiri kegiatan konferensi internasional negara-negara Islam di luar negeri. Pencekalan itu dialami hingga beliau wafat.
Dalam situasi demikian, Natsir sebagai negarawan dan khadimul ummah, pemimpin yang berkhidmat kepada umat, mengisi hari-harinya dengan tenang, dan tidak pernah mengeluh. Beliau tetap beraktivitas terutama sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Sementara itu bersama sahabatnya, KH Masjkur (mantan Menteri Agama), dan beberapa tokoh dari berbagai ormas Islam, beliau memprakarsai pembentukan Forum Ukhuwah Islamiyah. Karena hanya dengan memelihara ukhuwah Islamiyah itulah kekuatan kaum muslimin akan terpelihara dengan baik. Selain itu, hubungan korespondensi luar negeri tetap beliau lakukan selaku Wakil Presiden Muktamar Alam Al Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam Al Islami.
Kegiatan dakwah Natsir tak pernah berhenti. Beliau juga menulis dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Gaya beliau menulis dan berpidato halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Tapi dibalik ketenangan dan kehalusannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian yang luar biasa. Natsir mempunyai pribadi mulia yang diakui oleh kawan maupun lawan politiknya. Sosoknya tenang dan santun. Walaupun dalam situasi gawat, Natsir tidak pernah tegang dan tidak pernah kehilangan kejernihan berpikir.
Natsir adalah seorang negarawan muslim, guru bangsa, ulama intelektual, mujahid dakwah, pendidik umat politisi muslim Indonesia dan Perdana Menteri RI tahun 1950-an. Sebelum dan sesudah menjadi Perdana Menteri, Natsir pernah aktif sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946), kemudian menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946-1949), Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958) yang merupakan partai politik Islam terbesar di tanah air masa itu, anggota Parlemen RI (1950-1958), dan juga anggota Konstituante (1956-1958).
Sebagai ulama intelektual, Natsir melahirkan pikiran-pikiran yang cemerlang, baik yang ditulis, diucapkan, maupun diimplementasikan dengan amal. Pemikiran-pemikiran beliau yang tersebar dalam buku-buku dan artikel yang ditulisnya merupakan warisan kultural yang berharga bagi generasi masa kini. Buku-buku karya Natsir, antara lain, Capita Selecta (3 jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat (naskah asli ditulis dalam bahasa Belanda, Komt Tot Het Gebed), Revolusi Indonesia, Islam Sebagai Dasar Negara, Dari Masa Ke Masa (beberapa jilid), Kumpulan Khutbah Hari Raya, Islam dan Kristen di Indonesia, Kebudayaan Islam, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah Naungan Risalah, Kode dan Etik Da’wah, Tugas dan Peranan Ulama, Kubu Pertahanan Mental Dari Abad Ke Abad, Membangun Umat dan Negara, Berbahagialah Perintis, World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah, Asas Keyakinan Agama Kami, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia, Tentang Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Demokrasi Di Bawah Hukum, Pesan Perjuangan Seorang Bapak-Percakapan Antar Generasi, dan lain-lain.
Polemik Natsir dengan Soekarno di majalah Pandji Islam Bandung dalam dekade 1930-an tentang hubungan agama dan negara menjadi kajian yang tidak pernah usang sampai kini. Natsir menginginkan agama tak bisa dipisahkan dari negara, sedangkan Soekarno menolak mentah-mentah campur tangan agama dalam urusan bernegara (sekularisme).
Tokoh Dunia Islam
Natsir adalah seorang tokoh dan pemimpin terkemuka dunia Islam. Beliau berperan dalam organisasi Islam internasional sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islamy (World Muslim Conggress) yang bermarkas di Karachi, anggota inti Rabithah Alam Islami (World Muslim League) yang bermarkas di Mekkah, anggota inti Majlis A’la Al-Islamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia) yang bermarkas di Mekkah, dan lain-lain.
Pada waktu menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal di bidang pengkhidmatan kepada Islam dari ”King Faisal Foundation” di Riyadh, Saudi Arabia, tahun 1980, Natsir berpidato antara lain, ”Sekarang kita menghadapi tantangan, setelah negara-negara kita merdeka. Sebab tujuan kita bukan hanya sekadar merdeka politis semata-mata. Tetapi adalah benar-benar kembali kepada Allah dan kembali kepada Islam, baik bentuk, isi, tingkah laku maupun komitmen. Kita tidak akan berkecil hati menghadapi tantangan-tantangan itu. Sebab yang menimbulkan tantangan-tantangan tersebut terperosok dalam kegelapan. Dan ini hendaknya menjadi pendorong bagi kita untuk menyampaikan kepada mereka ’nur’ yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Nur yang menerangi kegelapan. Dan di bawah nur ini urusan dunia dan akhirat menjadi baik. Itulah nur Islam.”
Natsir sering berungkap mengutip sabda Rasulullah saw dalam khutbah wada’ (khutbah terakhir) bahwa ”sesungguhnya zaman beredar, musim berganti.” Ia berpesan kepada generasi muda muslim, ”Islam menyuruh kita agar hidup dalam perspektif sejarah. Seorang muslim tidak boleh hanya berdiri berpangku tangan di pinggir jalan melihat orang lalu.”
Dalam wawancara dengan Jurnal Inovasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 1987, Natsir yang waktu itu telah berusia 79 tahun mengutarakan; ada tiga unsur yaitu, masjid, pesantren, dan kampus, apabila dipertemukan, niscaya akan menjadi modal utama pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara, entah di bidang ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya.
Natsir adalah salah seorang pejuang pendidikan Islam di Indonesia. Tahun 1932 beliau mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, Sekolah yang didirikan Natsir, memadukan pendidikan agama Islam dengan pendidikan umum. Dia risau sekolah yang didirikan Belanda, tidak mengajarkan pendidikan agama Islam. Natsir juga merintis berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI), di Jakarta, yang ketika dipindahkan ke Yogyakarta pada 1945 berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Tujuh perguruan tinggi Islam besar di Indonesia kelahirannya turut dibidani oleh Natsir. Selain di Bandung, dan Yogyakarta, beberapa perguruan tinggi lainnya juga tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Di samping itu, Natsir selaku Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang memiliki akses ke Timur Tengah mensponsori pembangunan masjid kampus di beberapa kampus perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Hati Nurani Umat
Kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan, dan teguh pendirian (istiqamah) adalah watak Mohammad Natsir yang menonjol. Semua sifat mulia itu bersumber dan memancar dari ajaran Islam yang menjadi pandangan hidup beliau sebagai mukmin yang shaleh. Ia dijuluki oleh sahabatnya Mr. Mohamad Roem, hati nurani umat.
Kehidupan dan perjuangan Mohammad Natsir, seperti halnya tokoh-tokoh Masyumi yang lain, pantas menjadi contoh tentang asketisisme kekuasaan, integritas, kesederhanaan, keteguhan memegang prinsip, serta keikhlasan berjuang di tengah masyarakat. Jimly Ashiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan, ”Saat ini sulit mencari tokoh yang bisa kita sebandingkan dengan Natsir. Natsir bukan pengusaha, bukan orang kaya. M.Natsir tiga kali menjadi menteri penerangan dan sekali menjadi perdana menteri, bukan untuk mencari uang atau memperkaya diri.”
Konon ketika Raja Faisal bin Abdul Aziz hendak memberi hadiah kepada Mohammad Natsir, ia menolak secara halus dan mengatakan, “Kalau mau membantu, tolonglah bantu mahasiswa-mahasiwa Indonesia untuk melanjutkan studi di Arab Saudi.” pintanya. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Raja Saudi Arabia yang sangat respect pada Natsir.
Penulis bersyukur bisa berkenalan dengan Pak Natsir semasa hidupnya, dan menyaksikan akhlak beliau yang tidak pernah membeda-bedakan perlakuannya terhadap setiap orang. Tutur kata yang santun dan senyum kebapaannya tidak terlupakan selamanya. Pintu rumahnya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung, dan beliau menerima setiap orang dengan sikap yang ramah dan santun. Tidak jarang di antara tamunya minta bantuan materi kepada Mohammad Natsir. Beliau tidak pernah menolak, dan kalaupun sedang tidak bisa membantu, diberinya ”memo” kepada salah seorang rekannya yang bisa membantu.
Natsir dalam tulisan dan ceramahnya sering mensitir syair pujangga Mesir, Syauqi Bey, ”Berdirilah tegak memperjuangkan pendirian selama hidupmu. Sesungguhnya hidup itu hanya berarti bila diisi dengan akidah dan jihad.”
Pak Natsir adalah pemimpin-pejuang yang selalu memiliki optimisme terhadap masa depan Islam di Indonesia. Menurut Natsir, Islam bukanlah semata-mata suatu agama dalam definisi yang sempit, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebagai pemimpin yang berkiprah tanpa lelah di medan dakwah, beliau merasakan betapa tantangan dan ghazwul fikri (perang ideologi dan pemikiran) dihadapi kaum muslimin di tanah air dan di Dunia Islam. Dalam buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Percakapan Antar Generasi, Natsir menyebut tiga tantangan dakwah yang perlu mendapat perhatian utama, yaitu gerakan pemurtadan, gerakan sekularisasi, dan gerakan nativisasi.
Dalam tahun-tahun terakhir sebelum berpulang ke rahmatullah, Pak Natsir berpesan kepada kader-kader dakwah dan umat Islam pada umumnya, ”Marilah kita melihat tiap-tiap persoalan yang kita hadapi dari masa ke masa, sekarang atau yang akan datang, sebagai ujian, sebagai ibtilaa’ yang silih berganti. Dan tidak usah kita menyembunyikan diri dari padanya, tetapi kita harus hadapi dengan iman, dengan warisan Rasulullah saw, kitabullah wa sunnatu Nabiyyih.”
Sehari setelah pemakaman jenazah almarhum Mohammad Natsir di TPU Karet, Jakarta, mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fakuda mengirim faksimil ucapan duka cita kepada keluarga besar almarhum. Di antara kata belasungkawa Takeo Fakuda, ”Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya Dr. Mohammad Natsir. Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam. Peranan beliau masih sangat dibutuhkan dalam usaha mengkoodinasikan dunia yang stabil.”
Semoga Peringatan Refleksi Seabad Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (1908-2008) meninggalkan makna yang mendalam bagi kita semua dalam rangka melanjutkan pembangunan umat dan negara yang diridhai Allah Swt. Kita tidak mengkultuskan beliau. Islam pun melarang mengkultuskan manusia. Tetapi bangsa ini sangat membutuhkan motivasi dan teladan dari para pemimpin di segala bidang. Salah satu pemimpin yang patut diteladani ialah almarhum Mohammad Natsir.

Penulis adalah pengamat sejarah dan anggota Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)